Thursday, April 11, 2013

Reflection Paper (Control and Conflict in The Upland)



Nisaa Wahyu P
170510120016
Masyarakat dan Kebudayaan Asia Tenggara

REFLECTION PAPER

            Sekitar pertemuan ke-4 dalam mata kuliah Masyarakat dan Kebudayaan Asia Tenggara, Dosen kami, Pak Rimbo memberikan sebuah buku untuk dibaca yang nantinya akan kami diskusikan di kelas besar. Sebelum memulai diskusi, terlebih dahulu kami dibagi menjadi tiga kelompok besar yang terdiri dari 20-25 mahasiswa dimana masing – masing kelompok mendapatkan ulasan materi tentang buku “Control and Conflict in The Upland”. Dimulai dari kelompok satu yang mengulas materi mengenai Indonesia, Kelompok dua mengenai bab negara Filipina dan kelompok terakhir mengenai bab negara Vietnam. Kebetulan saya berada di kelompok satu yang membahas tentang bab negara Indonesia.
      Pada buku “Control and Conflict in The Upland” ini membahas tentang masalah komunitas etnik, sumber daya dan bangsa yang terdapat di Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Di Indonesia sendiri  membahas tentang hak kepemilikan hutan antara pemerintah (negara ) dengan kasepuhan. Berawal dari penyusutan jutaan hektar hutan Indonesia karena kebakaran, mempengaruhi jumlah produsen, negara, dan proyek pemerintahan. Deforestasi hutan membuat pemerintah Indonesia mengakali pemberdayaan dengan menjadikan beberapa hutan sebagai cagar alam, contohnya Taman Nasional. Penjadian hutan sebagai taman nasional ini mulai mempengaruhi mata pencaharian masyarakat lokal karena mulai banyak pengaturan tentang hutan. Hal ini mengakibatkan banyak kelompok masyakrakat lokal menolak adanya Taman Nasional. Dengan adanya fakta tersebut terlihat bahwa antara pemerintah dengan masyarakat belum melakukan negosiasi atau bahkan kesepakatan. Karena tidak adanya kesepakatan dan negosiasi antara pemerintah dan masyarakat lokal, usaha untuk menjaga dan melestarikan alam tersendat.
Padahal pendirian taman nasional oleh pemerintah berfungsi sebagai penghilang dan peminimalisir stress manusia. Dalam kebijakan konservasi, Indonesia meniru sistem dari Jerman yaitu fokus dalam perlindungan spesies tertentu, gerakan alami untuk kenikmatan orang, dan pelestarian area tumbuhan untuk penelitian. Semakin lama konservasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia semakin berkembang hingga akhirnya konservasi yang semula hanya ditangani oleh Indonesia sendiri perlahan mulai ada campur tangan dari pihak asing yang membuat sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap masyarakat Indonesia terutama disekitar wilayah konservasi.
Salah satu masalah yang menjadi pokok pembahasan antara perbedaan pandangan pemerintah dan masyarakat lokal adalah daerah Gunung Halimun. Taman Nasional Gunung Halimun memang sudah terbentuk pada masa kolonialisme Belanda dan sempat dipegang oleh divisi III konservasi SDA selama sekitar 52 tahun dan setelah itu diteruskan oleh GHNP. Kemudian pengaturan sumber daya diatur oleh pihak GHNP. Pihak GHNP sendiri memfasilitasi penelitian, pengetahuan, pembelajaran, rekreasi dan turis. Ada enam tujuan GHNP, salah satunya untuk mendukung pemerintah dalam kesejahteraan komunitas lokal dalam penggunaan sumber daya taman.
Pengelolaan terstruktur tersebut masih mendapatkan kritikan dari masyarakat lokal, sebut saja Kasepuhan. Kasepuhan merupakan nama yang dialamatkan kepada orang yang mengakui dirinya sebagai keturunan dari kerajaan Sunda Lama Padjadjaran. Kasepuhan Ciptarasa sendiri adalah orang yang diberi wewenang terhadap gunung Sangiang (Selatan Halimun).  Dalam kehidupan sehari - hari, kasepuhan mempunyai empat metode mata pencaharian yakni huma , sawah, kebon dan talun, dan koleksi produk hutan. Empat metode tersebut membuat kasepuhan sulit untuk tidak menggantungkan hidup pada hutan. Para kasepuhan menganggap hutan mempunyai arti ekonomi dan merupakan warisan dari kerajaan Sunda Tua, maka mereka akan mengatur dan menjaga hutan sebaik mungkin. Namun anggapan tersebut ditolak oleh pemerintah. Bagi pemerintah, hutan beserta seluruh isinya merupakan hak negara yang mengelolanya. Karena perbedaan pandangan itulah membuat pemerintah tidak akur dengan kasepuhan.
Dari sini terlihat bahwa pemerintah berusaha untuk menguasai hutan yang ada di Indonesia tanpa menghormati adanya warisan budaya. Dari diskusi, banyak juga negara yang menghadapi masalah yang sama seperti yang ada di Indonesia. Seperti Filipina, negara Filipina mempunyai masalah tentang kepemilikan tanah. Pada mulanya, masyarakat Manobo membuat pembalakan liar gencar terjadi. Namun hal ini perlahan disadari oleh masyarakat Manobo. Selain itu tentang kepemilikan tanah, pada awalnya, tanah merupakan milik bersama hingga pada suatu saat kepemilikan lahan di Manobo menjadi komersil secara individu, kecuali sumber daya hutan dipertimbangkan sebagai sumber daya terbuka. Hal tersebut tertuang dalam Indigenous People Rights Act (IPRA), atau Republic Act (RA) no.8371 tahun 1997. Hukum ini memberikan hak pengakuan yang legal secara tegas untuk penduduk asli pada lahan dan wilayah keluarga mereka.Hukum ini juga memberikan komunitas penduduk asli pilihan untuk memiliki lahan dan pengakuan sumber daya secara legal. IPRA sendiri juga membantu warga yang terkena kebijakan monopoli dengan membayar sewa tanah dengan melakukan suatu reaksi terhadapa pemerintah dengan cara mereka menunjukan dua sertifikat asli yang membuktikan bahwa tanah tersebut merupakan milik mereka, Sertifikat tersebut di tunjukan di NCIP.
Selain itu di Vietnam, permasalahan ada pada kepemilikan tanah. Pemerintah Vietnam memberikan kuasa sepenuhnya terhadap kepemilikan tanah, namun hal ini menyebabkan akibat yang cukup fatal. Seperti pada dusun Yen, banyak sekali eksploitasi, hal ini membuktikan bahwa pemerintah gagal dalam melindungi hutan dan pengalokasian tanah pada keluarga individu.
Pada tiga negara yang telah didiskusikan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Pada aspek ketergantungan terhadap hutan. Masyarakat di tiga negara memiliki ketergantungan penuh terhadap hutan, seperti contohnya Kasepuhan yang bermata pencaharian huma , sawah, kebon dan talun, dan koleksi produk hutan, contoh lain adalah masyarakat Filipina bermata pencaharian petani yang mana pada kehidupan lain sangat bergantung pada hutan. Persamaan kedua adalah dari perbedaan pemerintah dengan masyarakat lokal. Di Indonesia misalnya, pembangunan Taman Nasional Gunung Halimun ditolak oleh masyarakat lokal karena mempengaruhi kehidupan mereka dan di Filipina, pemerintah memberlakukan kebijakan monopoli tanah yang mewajibkan masyarakat Manobo membayar sewa tanah, padahal tanah tersebut adalah milik mereka. Selain persamaan, di tiga negara tersebut juga mempunyai perbedaan. Menurut hasil diskusi, perbedaan diantara tiga negara adalah perlakuan pemerintah dengan masyarakat Asing. Di Negara Vietnam, dusun Yen tidak mengijinkan secara tegas bangsa asing memiliki akses ke sumber daya lokal, kecuali orang asing tersebut melakukan tahapan ritual yang cukup sulit, sedangkan pada masyarakat Indonesia, pemerintahannya secara mudah memberikan ijin pengelolaan kepada orang asing, hal ini dikarenakan kurangnya teknologi di bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, konflik yang terjadi di daerah dataran tinggi di tiga negara tersebut, menurut saya hanya dapat diselesaikan dengan negosiasi dan kesepakatan pemerintah dengan masyarakat lokal. Pada hal ini, pemerintah seharusnya dapat memikirkan nasib masyarakat lokal apabila ingin mengelola hutan yang merupakan jantung masyarakat lokal ataupun apabila sudah mengelola diharapkan tegas pada yang ingin mengeploitasi hutan, tidak sepertiyang terjadi di masyarakat suku Dao, dimana pemerintahan gagal melindungi dan memelihara hutan.

No comments:

Post a Comment