Nisaa
Wahyu P
170510120016
Masyarakat
dan Kebudayaan Asia Tenggara
REFLECTION PAPER
Sekitar pertemuan ke-4 dalam mata
kuliah Masyarakat dan Kebudayaan Asia Tenggara, Dosen kami, Pak Rimbo
memberikan sebuah buku untuk dibaca yang nantinya akan kami diskusikan di kelas
besar. Sebelum memulai diskusi, terlebih dahulu kami dibagi menjadi tiga
kelompok besar yang terdiri dari 20-25 mahasiswa dimana masing – masing
kelompok mendapatkan ulasan materi tentang buku “Control and Conflict in The
Upland”. Dimulai dari kelompok satu yang mengulas materi mengenai Indonesia,
Kelompok dua mengenai bab negara Filipina dan kelompok terakhir mengenai bab
negara Vietnam. Kebetulan saya berada di kelompok satu yang membahas tentang
bab negara Indonesia.
Pada buku “Control
and Conflict in The Upland” ini membahas tentang masalah komunitas etnik,
sumber daya dan bangsa yang terdapat di Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Di
Indonesia sendiri membahas tentang hak
kepemilikan hutan antara pemerintah (negara ) dengan kasepuhan. Berawal dari penyusutan
jutaan hektar hutan Indonesia karena kebakaran, mempengaruhi jumlah produsen,
negara, dan proyek pemerintahan. Deforestasi hutan membuat pemerintah Indonesia
mengakali pemberdayaan dengan menjadikan beberapa hutan sebagai cagar alam,
contohnya Taman Nasional. Penjadian hutan sebagai taman nasional ini mulai
mempengaruhi mata pencaharian masyarakat lokal karena mulai banyak pengaturan
tentang hutan. Hal ini mengakibatkan banyak kelompok masyakrakat lokal menolak
adanya Taman Nasional. Dengan adanya fakta tersebut terlihat bahwa antara
pemerintah dengan masyarakat belum melakukan negosiasi atau bahkan kesepakatan.
Karena tidak adanya kesepakatan dan negosiasi antara pemerintah dan masyarakat
lokal, usaha untuk menjaga dan melestarikan alam tersendat.
Padahal pendirian taman
nasional oleh pemerintah berfungsi sebagai penghilang dan peminimalisir stress
manusia. Dalam kebijakan konservasi, Indonesia meniru sistem dari Jerman yaitu
fokus dalam perlindungan spesies tertentu, gerakan alami untuk kenikmatan
orang, dan pelestarian area tumbuhan untuk penelitian. Semakin lama konservasi
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia semakin berkembang hingga akhirnya
konservasi yang semula hanya ditangani oleh Indonesia sendiri perlahan mulai
ada campur tangan dari pihak asing yang membuat sedikit banyak memberikan
pengaruh terhadap masyarakat Indonesia terutama disekitar wilayah konservasi.
Salah satu masalah yang
menjadi pokok pembahasan antara perbedaan pandangan pemerintah dan masyarakat
lokal adalah daerah Gunung Halimun. Taman Nasional Gunung Halimun memang sudah
terbentuk pada masa kolonialisme Belanda dan sempat dipegang oleh divisi III
konservasi SDA selama sekitar 52 tahun dan setelah itu diteruskan oleh GHNP.
Kemudian pengaturan sumber daya diatur oleh pihak GHNP. Pihak GHNP sendiri
memfasilitasi penelitian, pengetahuan, pembelajaran, rekreasi dan turis. Ada
enam tujuan GHNP, salah satunya untuk mendukung pemerintah dalam kesejahteraan
komunitas lokal dalam penggunaan sumber daya taman.
Pengelolaan terstruktur
tersebut masih mendapatkan kritikan dari masyarakat lokal, sebut saja
Kasepuhan. Kasepuhan merupakan nama yang dialamatkan kepada orang yang mengakui
dirinya sebagai keturunan dari kerajaan Sunda Lama Padjadjaran. Kasepuhan
Ciptarasa sendiri adalah orang yang diberi wewenang terhadap gunung Sangiang
(Selatan Halimun). Dalam kehidupan
sehari - hari, kasepuhan mempunyai empat metode mata pencaharian yakni huma ,
sawah, kebon dan talun, dan koleksi produk hutan. Empat metode tersebut membuat
kasepuhan sulit untuk tidak menggantungkan hidup pada hutan. Para kasepuhan
menganggap hutan mempunyai arti ekonomi dan merupakan warisan dari kerajaan
Sunda Tua, maka mereka akan mengatur dan menjaga hutan sebaik mungkin. Namun
anggapan tersebut ditolak oleh pemerintah. Bagi pemerintah, hutan beserta
seluruh isinya merupakan hak negara yang mengelolanya. Karena perbedaan
pandangan itulah membuat pemerintah tidak akur dengan kasepuhan.
Dari sini terlihat bahwa pemerintah
berusaha untuk menguasai hutan yang ada di Indonesia tanpa menghormati adanya
warisan budaya. Dari diskusi, banyak juga negara yang menghadapi masalah yang
sama seperti yang ada di Indonesia. Seperti Filipina, negara Filipina mempunyai
masalah tentang kepemilikan tanah. Pada mulanya, masyarakat Manobo membuat
pembalakan liar gencar terjadi. Namun hal ini perlahan disadari oleh masyarakat
Manobo. Selain itu tentang kepemilikan tanah, pada awalnya, tanah merupakan
milik bersama hingga pada suatu saat kepemilikan lahan di Manobo menjadi komersil
secara individu, kecuali sumber daya hutan dipertimbangkan sebagai sumber daya
terbuka. Hal tersebut tertuang dalam Indigenous
People Rights Act (IPRA), atau Republic Act (RA) no.8371 tahun 1997. Hukum ini
memberikan hak pengakuan yang legal secara tegas untuk penduduk asli pada lahan
dan wilayah keluarga mereka.Hukum ini juga memberikan komunitas penduduk asli
pilihan untuk memiliki lahan dan pengakuan sumber daya secara legal. IPRA
sendiri juga membantu warga yang terkena kebijakan monopoli dengan membayar
sewa tanah dengan melakukan suatu reaksi terhadapa pemerintah
dengan cara mereka menunjukan dua sertifikat asli yang membuktikan bahwa tanah
tersebut merupakan milik mereka, Sertifikat tersebut di tunjukan di NCIP.
Selain itu di Vietnam, permasalahan ada
pada kepemilikan tanah. Pemerintah Vietnam memberikan kuasa sepenuhnya terhadap
kepemilikan tanah, namun hal ini menyebabkan akibat yang cukup fatal. Seperti
pada dusun Yen, banyak sekali eksploitasi, hal ini membuktikan bahwa pemerintah
gagal dalam melindungi hutan dan pengalokasian tanah pada keluarga individu.
Pada tiga negara yang telah didiskusikan
terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Pada aspek ketergantungan terhadap
hutan. Masyarakat di tiga negara memiliki ketergantungan penuh terhadap hutan,
seperti contohnya Kasepuhan yang bermata pencaharian huma , sawah, kebon dan
talun, dan koleksi produk hutan, contoh lain adalah masyarakat Filipina bermata
pencaharian petani yang mana pada kehidupan lain sangat bergantung pada hutan.
Persamaan kedua adalah dari perbedaan pemerintah dengan masyarakat lokal. Di
Indonesia misalnya, pembangunan Taman Nasional Gunung Halimun ditolak oleh
masyarakat lokal karena mempengaruhi kehidupan mereka dan di Filipina, pemerintah
memberlakukan kebijakan monopoli tanah yang mewajibkan masyarakat Manobo
membayar sewa tanah, padahal tanah tersebut adalah milik mereka. Selain
persamaan, di tiga negara tersebut juga mempunyai perbedaan. Menurut hasil
diskusi, perbedaan diantara tiga negara adalah perlakuan pemerintah dengan
masyarakat Asing. Di Negara Vietnam, dusun Yen tidak mengijinkan secara tegas
bangsa asing memiliki akses ke sumber daya lokal, kecuali orang asing tersebut
melakukan tahapan ritual yang cukup sulit, sedangkan pada masyarakat Indonesia,
pemerintahannya secara mudah memberikan ijin pengelolaan kepada orang asing,
hal ini dikarenakan kurangnya teknologi di bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, konflik yang terjadi di daerah
dataran tinggi di tiga negara tersebut, menurut saya hanya dapat diselesaikan
dengan negosiasi dan kesepakatan pemerintah dengan masyarakat lokal. Pada hal
ini, pemerintah seharusnya dapat memikirkan nasib masyarakat lokal apabila
ingin mengelola hutan yang merupakan jantung masyarakat lokal ataupun apabila
sudah mengelola diharapkan tegas pada yang ingin mengeploitasi hutan, tidak
sepertiyang terjadi di masyarakat suku Dao, dimana pemerintahan gagal
melindungi dan memelihara hutan.
No comments:
Post a Comment