Nama : Nisaa Wahyu P
NPM : 170510120016
Organisasi
Sosial dan Kekerabatan
Sistem dan
Syarat Perkawinan
~
Masyarakat Batak Toba~
Perkawinan adalah hal yang sangat
sacral dan penting untuk manusia lewati masa tersebut. Terjadinya perkawinan
dimulai dari adanya system kekerabatan, menurut para ahli antropologi dari
pertengahan abad 19 ; J. Lubbock, JJ. Bachofen, J.F. McLennan, G.A.Wilken,
dilihat dari sekelompok manusia yang hidupnya bersama, bersetubuh dan
melahirkan tanpa adanya ikatan. Lambat laun, mulailah adanya hubungan antara
ibu-anak dan membentuk keluarga inti dengan garis keturunan menurut garis ibu..
Tingkat berikutnya, laki –laki mulai tidak puas dengan aturan seperti itu, maka
mereka mengambil calon isteri dari kelompok lain dan membentuk kelompok dengan ayah sebagai ketua dan garis
keturunannya berdasarkan garis ayah. Selain system kekerabatan juga dibahas
tentang perbandingan kelompok hidup binatang dengan manusia, seperti dalam
kehidupan berkelompok pada binatang kera teriak (Aluata palliate) tahun 1930 oleh ahli biologi C.R. Carpenter, dan
beberapa ahli bangsa Jepang dan juga ahli antropologi, salah satunya
S.Washburn. Penelitian-penelitian tersebut kemudian berkembang dan menjadikan
itu sebagai perbabandingan dengan manusia. Pada manusia sendiri terlihat tidak
dapat hidup seorang diri, mereka bertahan hidup dengan cara berkelompok namun
pembagian tugasnya sangatlah tegas.
Sistem
kekerabatan lebih jauh membahas pula tentang adat istiadat lingkaran hidup dan
perkawinan. Manusia terlahir di dunia wajib melewati lingkaran hidup dari lahir
sampai mati. Dalam kitab antropologi sering diseut stages along the life-cycle,
misalnya masa bay, penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertas,
masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua, dll. Dari peralihan tahap satu dengan
yang lain ditandai oleh suatu pesta dan upacara, disebabkan karena kesadaran
umum bahwa tiap tingkat baru life-cycle membawa si individu ke dalam suatu
tingkat dan lingkungan sosial yang lebih luas dan tentunya ketergantungan pada
lingkungan semakin luas. Selain itu dalam ilmu antropologi upacara-upacara itu
disebut crisis-rites (upacara waktu krisis) atau rites de passage (upacara
peralihan). Suatu saat peralihan tahap terpenting pada manusia adalah
perkawinan. Dipandang dari sudut kebudayaan manusia, perkawinan merupakan
pengatur keluakuan manusia yang berhubungan dengan seks atau bersetubuh. Dalam
perkawinan, persetubuhan ini tidak sama dengan tahap pertama system
kekerabatan. Tidak sembarang laki-laki melakukan / melampiaskan seks kepada
wanita bebas, namun hanya kepada satu atau beberapa wanita tertentu dalam
masyarakat (mempunyai ikatan sah). Dilihat dari fungsinya, pernikahan tidak
saja hanya untuk melampiaskan nafsu biologi, namu juga untuk memberikan
kewajiban perlindungan darah daging (anaknya), memenuhi kebutuhan manusia akan
teman hidup, memenuhi akan kebutuhan gengsi dan naik kelas masyarakat, dan juga
memelihara hubungan baik antar kelompok kerabat yang berada di dalam lingkaran
perkawinan.
Salah
satu fungsi perkawinan dengan memeliharaa hubungan baik antar kelompok kerabat
jika dilihat lebih jauh akan sangat berhubungan dengan perjodohan. Perjodohan
dalam perkawinan sangat tidak asing. Seperti pada masyarakat Batak, ada
peraturan bahwa perkawinan antara orang rimpal ( marparipan dalam bahasa Toba)
yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki –
laki ibunya adalah perkawinan yang sangat ideal. Dengan demikian seorang laki-
laki Batak tidak dapat menikahi gadis sembarangan (namun pada jaman sekarang
banyak pemuda yang tidak lagi menuritu adat kuno ini).Adapula adat Batak yang
mengatakan bahwa seorang dilarang mencari jodoh
diantara seorang yang bermarga sama. Perjodohan ini berkaitan erat
dengan istilah exogami dan endogamy. Seperti contoh, exogami marga yakni
perkawinan dengan orang di luar marganya, seperti laki – laki bermagra
Simanjuntak menikah dengan gadis yang bukan bermarga Simanjuntak.Contoh lain. Endogamy
keluarga besar adalah pernikahan dengan orang yang di dalam keluarga besar,
yaitu anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya. Istilah lain dalam aturan
perjodohan perkawinan adalah cross-cousinyakni perkawinanorang Batak Toba yang
menikah dengan anak perempuan saudara laki-laki inangnya. Perkawinan ideal
(cross-cousin) pada suku Batak Toba muda sangatlah sulit untuk dilakukan di
jaman modern ini, namun demikian adat tersebut masih tetap ada. Seorang sarjana
antropologi dari Batak Karo bernama Masri Singarimbun mencatat 5.3% perkawinan
pada masyarakat Tanah Pinem dan 2.3% masyarakat tanah Toba masih melakukan
perkawinan ideal tersebut.
Pelamaran
pada masyarakat batak Toba adalah awal dari proses perkawinan, pelamar dari
pihak kerabat laki – laki dengan mengirimkan suatu delegasi resmi ke rumah
gadis (nungkuni atau ngembah belo selambar). Apabila lamaran tersebut diterima,
maka akan ada perundingan tentang beberapa hal yang disebut marhata sinamot.
Perundingan ini merundingkan tentang syarat – syarat perkawinan menurut adat
Batak. Seperti contohnya jumlah maskawin (tuhor), jumlah harta yang akan
diterima oleh saudara laki-laki ibu dari gadis, jumlah harta yang akan diterima
oleh saudara laki-laki ibu ibunya dari gadis, jumlah harta yang akan diterima oleh
saudara perempuan dari ibu si gadis, jumlah harta yang akan diterima oleh anak
beru dari ayah si gadis, jumlah harta yang diterima oleh saudara perempuan ibu
gadis, dan jumlah harta yang diterima oleh saudara laki – laki ibu si pemuda.
Setelah perundingan selesai maka mulai merencakan tanggal pernikahan beserta
pestanya. Kemudian diadakan upacara oleh empunya berupa pemberitahuan resmi
yang disebut martunpol yang mengumumkan secara resmi kepada gereja akan
diadakan perkawinan.
Pesta
perkawinan yang berlangsung dihadiri oleh kerabat pengantin laki-laki dan
perempuan beserta penghuni kuta dimana pesta itu diadakan. Dan pada waktu
tersebut biaasanya mereka membagikan mas kawin dan harta yang lain dari hasil
perundingan ( jambar). Harta yang mereka berikan terkadang dalam bentuk kerbau
atau babi yang disembelih. Sesudah pesta perkawinan diadakan upacara mukul pada
malam harinya dan setelah empat – tujuh hari, mereka mulau mengadakan kunjungan
resmi ke ayah dari isteri (panlak une).
Selain
melalui jalan tersebut masyarakat Batak Toba juga mengenal tentang kawin lari (
mangalua) setelah selisih satu hari barulah mereka mengirim delegasi untuk
memberitahukan ke orang tuanya akan menikahi si gadis.Setelah selang beberapa
lama, mereka yang kawin lari akan kembali dan melakukan upacara manuruk – nuruk
untuk minta maaf, kemudian selepas itu melakukan adat perkawinan seperti di
atas.
Dalam
masyarakat pada umumnya syarat perkawinan tidak hanya mengenai harta, seperti
mas kawin atau bridge-prices, pertukaran gadis atau bridge-exchange, dan
perncurahan tenanga untuk kawin atau bridge-service. Pada masyarakat Batak,
syarat terakhir tidak diuraikan secara tersurat, namun tetap ada. Seperti
pencurahan tenaga untuk kawin adalah dengan mengirimkan delegasi resmi ke rumah
orang tua calon isteri dan adat menetap sesudah nikah. Pola menetap sesudah
nikah pada umunya adalah adat utrolokal (kebebasan menetap di sekitar pusat
kediaman kerabat suami atau isteri), adat virilokal (menetap di pusat kediaman
kerabat suami), adat uxorilokal (menetap di sekitar pusat kediaman kerabat
isteri), adat bilokal (harus tinggal bergantian, terkadang di kerabat suami dan
sewaktu – waktu di kerabat isteri), adat neolokal ( tinggal sendiran dan tidak
mengelompok dengan kerabat suami maupun isteri), adat avunkulokal (tinggal
menetap di sekitar kediaman saudara laki-laki ibu dari suami), dan adat
natolokal (tinggal terpisah antara suami dan isteri). Pada masyarakat Batak
umumnya menggunakan pola virilokal atau uxorilokal. Cara menetap sesudah nikah
sering disebut hinela, biasanya disebabkan sang suami harus menggantungkan diri
ke pihak isteri karena isteri lebih kaya dan tidak dilepaskan oleh orang
tuanya.
Kesimpulan
Sistem
kekerabatan yang awalnya bebas, seiring perkembangan jaman mulai mengenal istilah
bersosialisasi. Sedikit demi sedikit muncul tahap atau life-cycle yang tersusun
dan harus dilalui oleh manusia, dan upacaralah yang merupakan pemutusan
kenaikan tahap tingkatan. Tahap terpenting dalam life-cycle adalah perkawinan.
Beragam adat perkawinan diadakan di Indonesia, salah satunya pada masyarakat
Batak suku Toba. Beragam proses menghiasi tahap sebelum perkawinan, dari mulai
melamar sampai adat menetap setelah perkawinan.
Penggunaan adat penetapan dengan pola virilokal atau uxorilokal pada
masyarakat Batak, akan membuat keloyalan semakin kuat. Pembentukan dari
lingkungan hidup yang sekerabat inilah akan mengajarkan pertanggung jawaban
terhadap anak untuk melestarikan adat sehingga membentuk adat kebudayaan batak
semakin konkret.
Sumber :
-Beberapa Pokok Antropologi Budaya (Koentjaraningrat)
- Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Koentjaraningrat)
No comments:
Post a Comment